adalah: Apa benar pengarang buku ini adik Buya HAMKA? Jangan-jangan
hanya mencatut nama biar terkenal. Di dunia ini apa saja dikerjakan
orang. Batin
seolah tak rela jika darah para ulama besar tercemar dengan terbitnya buku ini.
Jawaban pertanyaan pertama kita cari di dalam buku Pak Abdul Wadud. Ia
lahir di Kampung Kubu, Sungai Batang, Maninjau, tgl. 7 Juni 1927 sebagai
anak tunggal dari istri ketiga Haji Rasul yaitu Siti Hindun. Sedangkan
Buya Hamka adalah anak pertama dari empat bersaudara hasil pernikahan
Haji Rasul dengan istri keduanya Siti Shafiah. Artinya Abdul Wadud
adalah adik tiri seayah dari Buya Hamka. Perlu juga dicatat bahwa
pernikahan ayah mereka dengan ketiga istrinya itu tidak dalam masa yang
sama. Artinya Haji Rasul tidak berpoligami. Jarak umur antara Buya Hamka
dan Abdul Wadud adalah 19 tahun.
Abdul Wadud menghabiskan masa kecilnya di Maninjau. Sebagaimana
anak-anak Minangkabau lainnya, waktu kecil ia pergi ke surau di
kampungnya dan pergi sekolah agama di Padang Panjang yang dikelola oleh
murid-murid ayahnya. Selanjutnya ia meninggalkan Minangkabau pada 8
Agustus 1941 bersama ayahnya menuju tempat pembuangan ayahnya di
Sukabumi.
|
Abdul Wadud Karim Amrullah |
Selepas kematian ayahnya pada 1945, Abdul Wadud berangkat ke Rotterdam
dengan bekerja sebagai tukang binatu di kapal MS Willem Ruys yang
berangkat dari Tanjung Priok pada Februari 1949. Selanjutnya ia
meneruskan petualangan ke Amerika Serikat dan Amerika Selatan pada 1950
sebelum akhirnya memutuskan untuk menetap di San Francisco, California.
Di California Abdul Wadud mendirikan IMI (Ikatan Masyarakat Indonesia)
tahun 1962. Kemudian ia menikah dengan Vera Ellen George, seorang gadis
Indo, pada tgl. 6 Juni 1970 dan belakangan dikarunia 3 orang anak. Ia
juga aktif dalam kegiatan Islamic Center yang dikelola oleh para imigran
Islam dari Indonesia dan negara-negara Islam lainnya di Los Angeles.
Pada tahun 1977 keluarga ini kembali ke Indonesia dan bekerja di biro
perjalanan milik Hasjim Ning di Bali. Pada saat bisnis mereka
bermasalah, istrinya yang muallaf kembali diajak teman-temannya untuk
pergi ke gereja. Tidak itu saja, sang istri juga mengajak si suami untuk
turut serta. Akibatnya mereka sering bertengkar hebat.
Namun lambat laun pertahanan Abdul Wadud bobol juga. Tahun 1981 ia
setuju mengikuti agama istrinya. Tahun 1983 ia dibaptis sebagai “anak
Yesus” oleh Pendeta Gereja Baptis Gerard Pinkston di Kebayoran Baru.
Selanjutnya ia kembali ke AS tahun itu juga, menyusul istri dan
anak-anaknya yang sudah lebih dahulu meninggalkan Indonesia. Tidak lama
kemudian Abdul Wadud ditasbihkan menjadi pendeta di Gereja Pekabaran
Injil Indonesia (GPII) di California. Sejak itu ia lebih dikenal dengan
nama Pendeta Willy Amrull.
Untuk menjawab pertanyaan kedua dan ketiga, konon Buya Hamka tahu bahwa
adik tirinya itu telah masuk Kristen dari laporan anaknya Rusydi Hamka
yang baru pulang dari Amerika yang melihat bahwa Pak Eteknya itu membuat
tanda salib sebelum makan. Setidaknya demikian yang disampaikan Irfan
Hamka kepada seorang penanya. Selanjutnya Buya Hamka berpesan agar
anak-anaknya jangan sampai mengikuti langkah yang sudah ditempuh si Pak
Etek.
Namun demikian ada sedikit ganjalan bagi
ambo dalam hal ini. Kalau dilihat dari
time frame
kejadian, Buya Hamka meninggal dunia pada tahun 1981. Sedangkan Abdul
Wadud baru dibaptis -menurut bukunya- pada tahun 1983. Ada sesuatu yang
tidak cocok dari segi waktu jika dianggap Buya Hamka telah tahu soal
ini. Ditambah lagi sepertinya hubungan antara keluarga kakak-adik ini
tetap berlangsung baik. Buktinya pada saat Buya Hamka meninggal, Abdul
Wadud dan keluarganya datang dan bertindak selaku tuan rumah,
sebagaimana dimuat dalam buku Pak Irfan. Sebab biasanya orang yang sudah
bertukar agama, agama apapun itu, akan dikucilkan oleh keluarganya.
Jadi menurut
ambo kemungkinan ada data dan kejadian yang tidak
sinkron dalam hal ini. Meskipun begitu, kebenarannya tentu hanya
diketahui oleh pihak keluarga Buya Hamka sendiri.
Didalam bukunya ini Abdul Wadud alias Pendeta Willy juga mengungkapkan
sesuatu yang mengejutkan. Masih ingat kasus Wawah? Tahun 1998 Ranah
Minang buncah ketika seorang siswi MAN 2 Padang diculik, dibuka
jilbabnya, dibaptis dan (maaf) diperkosa. Selanjutnya setelah semuanya
terbongkar, yang diadili hanyalah tuduhan perkosaan saja. Sedangkan
penculikan dan pemaksaan pindah agama tidak ikut didakwakan. Pihak
Gereja GPIB Padang yang berdasarkan pengakuan Wawah disangkakan terlibat
dalam hal ini, menolak keterlibatannya. Pihak gereja juga membantah
keberadaan seorang pendeta yang membaptis Wawah. Namanya Pendeta Willy.
Melalui buku ini, sosok Pendeta Willy dalam kasus Wawah yang sebelumnya
kabur menjadi terang benderang. Memang benar ada yang bernama pendeta
Willy dalam kasus itu. Dituliskan bahwa pada tahun 1996 Pendeta Willy
Amrull, dengan dukungan lembaga misionaris di Amerika, mulai aktif
menyebarkan agama Kristen di Minangkabau. Ia dan para pengikutnya
berbasis di Jalan Batang Lembang (daerah Padang Baru) dan di Parak
Gadang, Padang. Pendeta Willy Amrull merekrut anak-anak muda Minang,
khususnya dari golongan ekonomi lemah, untuk dialihimankan menjadi orang
Kristen. Ia menyebutnya sebagai proses “pemuridan”. Diantara tangan
kanannya yang terkemuka adalah Yanuardi dan Salmon yang belakangan juga
ikut tersangkut kasus Wawah. Akibat kasus Wawah juga, dituliskan bahwa
Pendeta Willy Amrul menjadi takut datang ke Ranah Minang lagi.
Pendeta Willy Amrull meninggal tgl. 25 Maret 2012 di Los Angeles, tak
lama setelah bukunya ini terbit. Ia telah meninggalkan catatan tertulis
tentang sesuatu hal yang dianggap aib besar bagi orang Minang:
meninggalkan Islam. Buku ini juga memberi peringatan kepada kita bahwa
soal kristenisasi di Ranah Minang bukanlah hantu di siang bolong. Bukan
sekedar kabar pertakut. Bukan pula
phobia. Tetapi memang nyata
dan sistematis. Adik Buya Hamka ini adalah contohnya. Semoga kita,
keluarga kita dan semua teman serta karib kerabat kita tidak ikut
terjebak.