http://sariaklaweh.blogspot.com/2015/07/kumpulan-artikel-ramadhan.html MUTIARA SYORGA DI TIMBUNAN BATU AKIK ~ SARIAK LAWEH

Senin, 02 Maret 2015

MUTIARA SYORGA DI TIMBUNAN BATU AKIK

Sariaklaweh.blogspot.com:--Jarum panjang Jam Gadang menunjukkan 15 menit meninggalkan pukul 23.00.  Pelataran mulai beranjak sepi. Kebisingan dan macetnya siangpun tak lagi terlihat. Dari arah jl. Minangkabau  seorang lelaki bergerak menghampiri jam yang menjadi ikon kota wisata tersebut. Wajahnya tampak lesu seolah tak menikmati indahnya Bukittinggi dalam dekapan Putri Malam. Dari arah pasar lereng tampak seorang pengrajin akik yang setia menikmati dagangannya. Ia terlihat tengah asyik menekuni profesinya tersebut, sambil menikmati alunan merdu Syeikh Mishary Rashid dari headset yang terpasang ditelinganya. katanya, yang lagi diasah itu Lumuik Suliki, salah satu jenis batu akik dari daerah Suliki, Kabupaten Lima Puluh Kota dekat rumah kelahiran Tan Malaka.

Sesekali pengrajin akik itu melihat kearah Jam Gadang, dari caranya memandang terlihat ia tengah berupaya menemukan sesuatu. Benar saja, sesaat pencariannya terhenti pada sosok yang dari tadi, memang sengaja ditunggunya. “Fi cincinmu udah jadi, ambiaklah kamari (ambillah kesini)” seru pengrajin akik. Lelaki yang dimaksud tidak lain adalah  Sofi, pria yang dari tadi berjalan mengitari Jam Gadang. Sofipun mendekati tukang batu tersebut, yang tidak lain adalah Yahya, sang juara kelas bertahan dari kelas VII sampai IX di SMP tempat mereka bersama menimba ilmu dulu. Bahkan hebatnya lagi, waktu itu Yahya juga sudah hapal  Al Quran 30 juz. Subhanallah.!!!

Dari kesehariannya sebenarnya Yahya sama dengan anak kebanyakan, hanya saja dari kecil kedua orang tuanya sudah membudayakan Al Quran kepada anak-anaknya. Bayangkan saja  saat masih dalam kandungan, ayahnya tak pernah Absen untuk bertilawah satu juz disamping Bundanya, bahasa sekarangnya mah ODOJ (One Day One Juz). Bayangkan, tak pernah ada admin ataupun petugas harian yang menagih tilawahnya, semua itu ia lakukan  atas dasar cinta dan kesungguhannya dalam membentuk generasi Qur’ani di keluarganya. Dan itu berlanjut hingga Yahya kelak bisa membaca Kalamullah itu.

Tapi malang tak dapat ditolak, tengah asyiknya mencicipi bangku pelajaran kelas di salah satu SMA favorit di kota Sanjai tersebut. Keluarga Yahya memperoleh cobaan yang teramat dahsyat baginya, peristiwa merupakan cikal bakal perubahan alur hidup Yahya di kemudian harinya.

Hari itu Jumat, 18 Mei 2007. Yahya dan ayahnya baru saja menunaikan kewajiban mereka shalat Jum’at, di Mesjid Hanif dekat lapangan Wirabraja KODIM 0304 AGAM yang . Karena hendak membeli sesuatu di seberang jalan, ayah menyuruh Yahya menunggu sejenak, sementara beliau hendak ke seberang jalan. Awalnya semua biasa saja. Tapi ketika hendak kembali menyeberang, tiba-tiba saja motor bebek sudah berada di depannya, untung tak dapat diraih, malangpun tak dapat ditolak. Seketika darah segar mengucur dari hidung dan telinganya. Sontak Yahya kaget, ia segera berlari menuju ayah. Karena kehilangan banyak darah, Ayah Yahya tak tertolong lagi, belum sempat membawa ke Rumah Sakit, ayah telah menghembuskan nafas terakhirnya. Tapi pesan ayah di saat teraknya sampai saat ini tak pernah lupa dari ingatannya, “jaga adik dan hapalanmu nak, karena kelak itu yang akan melukis senyuman ayah di alam sana”. Yahya menjawab pelan “iya yah, Yahya akan pakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat nanti khusus buat ayah dan umi”. Ayahnya tersenyum sembari melafadzkan dua kalimah syahadat. Selang beberapa waktu, Yahya faham bahwa ayahnya telah tiada, tampa ia undang butiran bening telah membasahi pipinya,.

Minggu kedua setelah kepergian ayahnya, Yahya mengirim sepucuk surat ke sekolah tempat ia dulu menimba ilmu.
“Teruntuk Ibu Bapak Guru, dan teman-teman seperjuanganku
di kelas X1
Assalamu’alaikum
Ibu Bapak Guruku yang mulia, nan dari cinta dan tangannya kelak akan melahirkan Hatta, Hamka, Rohana Koedus di era modern dari kota kita tercinta, Bukitinggi ini. Sengaja surat ini Yahya titipkan kepada pak Sutan(penjaga sekolah) pagi-pagi sekali, berharap tak ada seorangpun dari guru dan teman yang Yahya jumpai. Karena bisa saja itu yang akan menjadi batu sandungan bagi Yahya dalam meluruskan niat ini. Yahya mohon maaf jika selama Yahya belajar, ada salah dan khilaf yang pernah Yahya goreskan di hati ibu dan Bapak. Semoga apa yang telah ibu dan bapak semai berbuah jannah hendaknya. Aamiin.!!!

Untuk teman-teman, Yahya ucapkan selamat melanjutkan perjuangan yang dulu telah kita ikrarkan bersama, menemukan sosok Hamka bagi pencinta mujahid dakwah dan sastra, menemukan sosok Hatta bagi pecinta dunia perpolitikan, dan sosok Rohana Koedoes bagi rekan yang menyenangi dunia tulis-menulis, tentunya di dalam diri masing-masing. Ingat cita-cita kita, mengembalikan eksistensi islam di yang telah terkoyak di bumi Indonesia. Dan Yahya, insya allah tak bakal lupa mendoakan di setiap doa-doa Yahya.

Jika setiap awal ada akhir, dan setiap pertemuan ada perpisahannya,  Ijinkan Yahya undur diri kelas kita tercinta. Kita masih bisa bercengkerama seperti biasa, jika kelak Bapak ibu guru, begitupun teman-teman semua, menyempatkan diri untuk mampir di gubuk yang yahya tempati. Semoga apa yang kita citakan tercapai hendaknya. Aamiin!!!

Wallahu Waliyyut taufiq
Wassalamu ‘alaikum
Dari Ananda dan Sahabatmu

Muhammad Yahya Hamid Al Anshori


“Bagus apa nggak?” Tanya Sofi. “Tergantung, pada jari siapa dia akan bersemayam, kalo dijarinya Dude harlino mah, batu apungpun bakal terlihat batu mulia’ seloroh Yahya. Kedua sahabat itu tertawa bersama. “dah larut malam, mari kita pulang” ajak Sofi. Yahyapun menyimpan peralatan, tempat ia dan adik-adiknya menggantungkan nasib di tengah kerasnya hidup. Merekapun beranjak dari duduknya dan mulai melangkah menuju pasar lereng, karena di sana cukup dekat menuju peristirahatan mereka di Aua Tajungkang, lama- kelamaan merekapun menghilang di telan lenyapnya malam. Salam sariak laweh.