Sariaklaweh.blogspot.com:--Jarum
panjang Jam Gadang menunjukkan 15 menit meninggalkan pukul 23.00. Pelataran mulai beranjak sepi. Kebisingan dan
macetnya siangpun tak lagi terlihat. Dari arah jl. Minangkabau seorang lelaki bergerak menghampiri jam yang
menjadi ikon kota wisata tersebut. Wajahnya tampak lesu seolah tak menikmati
indahnya Bukittinggi dalam dekapan Putri Malam. Dari arah pasar lereng tampak
seorang pengrajin akik yang setia menikmati dagangannya. Ia terlihat tengah
asyik menekuni profesinya tersebut, sambil menikmati alunan merdu Syeikh
Mishary Rashid dari headset yang terpasang ditelinganya. katanya, yang
lagi diasah itu Lumuik Suliki, salah satu jenis batu akik dari daerah Suliki,
Kabupaten Lima Puluh Kota dekat rumah kelahiran Tan Malaka.
Sesekali pengrajin akik itu melihat kearah Jam Gadang, dari caranya
memandang terlihat ia tengah berupaya menemukan sesuatu. Benar saja, sesaat
pencariannya terhenti pada sosok yang dari tadi, memang sengaja ditunggunya.
“Fi cincinmu udah jadi, ambiaklah kamari (ambillah kesini)” seru
pengrajin akik. Lelaki yang dimaksud tidak lain adalah Sofi, pria yang dari tadi berjalan mengitari
Jam Gadang. Sofipun mendekati tukang batu tersebut, yang tidak lain adalah
Yahya, sang juara kelas bertahan dari kelas VII sampai IX di SMP tempat mereka
bersama menimba ilmu dulu. Bahkan hebatnya lagi, waktu itu Yahya juga sudah
hapal Al Quran 30 juz. Subhanallah.!!!
Dari kesehariannya sebenarnya Yahya sama dengan anak kebanyakan,
hanya saja dari kecil kedua orang tuanya sudah membudayakan Al Quran kepada
anak-anaknya. Bayangkan saja saat masih dalam
kandungan, ayahnya tak pernah Absen untuk bertilawah satu juz disamping
Bundanya, bahasa sekarangnya mah ODOJ (One Day One Juz). Bayangkan, tak
pernah ada admin ataupun petugas harian yang menagih tilawahnya, semua itu ia
lakukan atas dasar cinta dan
kesungguhannya dalam membentuk generasi Qur’ani di keluarganya. Dan itu
berlanjut hingga Yahya kelak bisa membaca Kalamullah itu.
Tapi malang tak dapat ditolak, tengah asyiknya mencicipi bangku
pelajaran kelas di salah satu SMA favorit di kota Sanjai tersebut. Keluarga
Yahya memperoleh cobaan yang teramat dahsyat baginya, peristiwa merupakan cikal
bakal perubahan alur hidup Yahya di kemudian harinya.
Hari itu Jumat, 18 Mei 2007. Yahya dan ayahnya baru saja menunaikan
kewajiban mereka shalat Jum’at, di Mesjid Hanif dekat lapangan Wirabraja KODIM
0304 AGAM yang . Karena hendak membeli sesuatu di seberang jalan, ayah menyuruh
Yahya menunggu sejenak, sementara beliau hendak ke seberang jalan. Awalnya
semua biasa saja. Tapi ketika hendak kembali menyeberang, tiba-tiba saja motor
bebek sudah berada di depannya, untung tak dapat diraih, malangpun tak dapat
ditolak. Seketika darah segar mengucur dari hidung dan telinganya. Sontak Yahya
kaget, ia segera berlari menuju ayah. Karena kehilangan banyak darah, Ayah
Yahya tak tertolong lagi, belum sempat membawa ke Rumah Sakit, ayah telah
menghembuskan nafas terakhirnya. Tapi pesan ayah di saat teraknya sampai saat
ini tak pernah lupa dari ingatannya, “jaga adik dan hapalanmu nak, karena kelak
itu yang akan melukis senyuman ayah di alam sana”. Yahya menjawab pelan “iya
yah, Yahya akan pakaikan mahkota
dari cahaya pada hari kiamat nanti khusus buat ayah dan umi”. Ayahnya tersenyum
sembari melafadzkan dua kalimah syahadat. Selang beberapa waktu, Yahya faham
bahwa ayahnya telah tiada, tampa ia undang butiran bening telah membasahi
pipinya,.
Minggu kedua setelah kepergian ayahnya, Yahya mengirim sepucuk
surat ke sekolah tempat ia dulu menimba ilmu.
“Teruntuk
Ibu Bapak Guru, dan teman-teman seperjuanganku
di kelas
X1
Assalamu’alaikum
Ibu
Bapak Guruku yang mulia, nan dari cinta dan tangannya kelak akan melahirkan
Hatta, Hamka, Rohana Koedus di era modern dari kota kita tercinta, Bukitinggi
ini. Sengaja surat ini Yahya titipkan kepada pak Sutan(penjaga sekolah)
pagi-pagi sekali, berharap tak ada seorangpun dari guru dan teman yang Yahya
jumpai. Karena bisa saja itu yang akan menjadi batu sandungan bagi Yahya dalam
meluruskan niat ini. Yahya mohon maaf jika selama Yahya belajar, ada salah dan
khilaf yang pernah Yahya goreskan di hati ibu dan Bapak. Semoga apa yang telah
ibu dan bapak semai berbuah jannah hendaknya. Aamiin.!!!
Untuk teman-teman,
Yahya ucapkan selamat melanjutkan perjuangan yang dulu telah kita ikrarkan
bersama, menemukan sosok Hamka bagi pencinta mujahid dakwah dan sastra,
menemukan sosok Hatta bagi pecinta dunia perpolitikan, dan sosok Rohana Koedoes
bagi rekan yang menyenangi dunia tulis-menulis, tentunya di dalam diri
masing-masing. Ingat cita-cita kita, mengembalikan eksistensi islam di yang
telah terkoyak di bumi Indonesia. Dan Yahya, insya allah tak bakal lupa
mendoakan di setiap doa-doa Yahya.
Jika setiap awal ada
akhir, dan setiap pertemuan ada perpisahannya,
Ijinkan Yahya undur diri kelas kita tercinta. Kita masih bisa
bercengkerama seperti biasa, jika kelak Bapak ibu guru, begitupun teman-teman semua,
menyempatkan diri untuk mampir di gubuk yang yahya tempati. Semoga apa yang
kita citakan tercapai hendaknya. Aamiin!!!
Wallahu Waliyyut taufiq
Wassalamu ‘alaikum
Dari Ananda dan
Sahabatmu
Muhammad Yahya Hamid Al
Anshori
“Bagus apa nggak?”
Tanya Sofi. “Tergantung, pada jari siapa dia akan bersemayam, kalo dijarinya
Dude harlino mah, batu apungpun bakal terlihat batu mulia’ seloroh Yahya. Kedua
sahabat itu tertawa bersama. “dah larut malam, mari kita pulang” ajak Sofi.
Yahyapun menyimpan peralatan, tempat ia dan adik-adiknya menggantungkan nasib
di tengah kerasnya hidup. Merekapun beranjak dari duduknya dan mulai melangkah
menuju pasar lereng, karena di sana cukup dekat menuju peristirahatan mereka di
Aua Tajungkang, lama- kelamaan merekapun menghilang di telan lenyapnya malam. Salam sariak laweh.