
Banyak orang tak menduga dia menjadi
Menteri Perhubungan Kabinet Indonesia Bersatu. Sama seperti saat dia dipercaya
menjabat Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Kabinet Gotong-Royong. Maklum,
lulusan perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, diprediksi banyak
orang lebih pas menjabat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun, dengan
kemampuan manajerial yang dimilikinya, jabatan apa pun dapat diemban dengan
baik. Terbukti, semasa menjabat Menristek, ia berhasil mengangkat nama bangsa,
manakala terpilih menjadi Presiden Ke-46 Konfrensi IAEA (The International
Atomic Energy Agency) dengan pemilihan (voting).
Sebagai politisi yang berkali-kali
mengemban amanah sebagai menteri di berbagai kabinet, pria berambut perak
kelahiran Palembang, 18 Desember 1953 ini, berupaya menjalankan peran secara
optimal jabatan yang diamanahkannya, baik sebagai Fungsionaris Partai Amanat
Nasional (PAN), Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Republik Indonesia
Kabinet Gotong-Royong, Menteri Perhubungan Kabinet Indonesia Bersatu I dan
Menteri Sekretariat Negara Kabinet Indonesia Bersatu I serta Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu II tanpa terjadinya
kemungkinan loyalitas ganda dan abuse of power, “My loyality to the party end
when loyality to the state began”.
Kekuasaan hanyalah sebuah sarana, bukan
tujuan utama, ‘Power is a means, but not our ultimate goal.’ Tujuan utama kita
adalah mewujudkan Indonesia baru yang demokratis, berkeadilan, terbuka, dalam
masyarakat majemuk yang saling menghormati. Pernyataan ini sekaligus bermakna
penegasan posisinya sebagai politisi negarawan
yang ingin terus mengabdikan diri
kepada bangsa.
Jika diamati, ia tidak pernah bicara
politik atau partai ketika berperan sebagai menteri. Ia selalu menempatkan posisinya
pada konteks dan waktu yang tepat. Saat ia bekerja sebagai menteri, ia bicara
mengenai bidang tugasnya sebagai menteri. Dan jika ia ke daerah, terutama
Sabtu-Minggu – waktu yang benar-benar disediakannya untuk partai – ia bicara
sebagai fungsionaris partai.
Jujur
dan Mandiri
Anak kedua dari 12 bersaudara ini telah
terlatih untuk bekerja keras, jujur, mandiri dan bekerjasama sejak kecil. Ia
berasal dari keluarga pamong. Ayahnya seorang pamong bernama H. Muhammad Tohir,
ibunya bernama Hj. Aisyah binti Alaydrus. Kakeknya juga pamong di Ogan Komering
Ilir (OKI), Sumatera Selatan bernama Ahmad Pangeran Raksawiguna. Ayahnya,
ketika masih lajang adalah seorang tentara yang berjuang di tanah Jawa. Namun,
sesudah menikah berhenti dari tentara, beralih jadi pegawai negeri sipil, dan
berkali-kali mengemban tugas sebagai camat di berbagai wilayah di Sumatera
Selatan.
Sebagai anak yang berasal dari keluarga
sederhana — ayahnya pegawai negeri yang bekerja keras dan jujur — Hatta telah
terbiasa hidup apa adanya, jujur dan berdisiplin. Orang tuanya memang
mendidiknya dengan disiplin yang tinggi.
Setelah ia tamat SD, ayahnya menjadi
Asisten Wedana (Camat) di daerah Muarakuang. Di kecamatan itu belum ada SMP.
Sehingga Hatta kecil dititipkan kepada pamannya di Palembang. Jarak antara
Palembang dengan kecamatan itu, kira-kira seratus kilometer. Tapi jika
berangkat siang hari dari Palembang menggunakan motor, baru akan sampai larut
malam, karena jalan jelek sekali.
Di situ ia mulai mengenal arti sebuah
kehidupan. Di situ juga perkembangan kemampuan emosionalnya banyak dipengaruhi
oleh lingkungan. Yakni setiap orang itu haruslah saling menolong, saling
memberi dan mau berkorban bagi orang lain. Di situ ia sudah menyadari bahwa
kesuksesan seseorang bukan semata-mata karena kemampuan dirinya sendiri, tapi
60% adalah karena kerjasama orang lain, jasa orang lain, terutama ibu-bapaknya,
keluarga, teman dan kerabat. Juga berkat doa orang tua.
Pandangan ini, yakni semangat toleransi dan
menghargai orang lain, sangat dijiwainya sejak kecil. Sampai saat ini,
pandangan ini tetap mempengaruhi hidupnya. Karena, sejak tamat SD, ia sudah
harus hidup dengan keluarga orang lain. Itu berarti ia harus belajar tahu diri
sebagai orang yang dititipkan. Harus bekerja. Pagi-pagi ia harus bangun untuk
melakukan tugas-tugas di rumah pamannya, antara lain mengisi bak mandi dengan
pompa. Setengah enam ia sudah mengayuh sepeda ke sekolah.
Ia melakukan itu sampai tamat SMA di
Palembang. Dari sejak tamat SD, ia sudah berpisah dengan orang tua, hanya bertemu
sekali-sekali. Sampai ia menyelesaikan kuliah di ITB. Pada masa ini, sekolah
dan berpisah dengan orang tua, dirasakannya sebagai periode pendewasaan
intelektual. Aspek relijius, emosional dan rasionalnya dibentuk dalam dua
periode itu, yakni ketika SMP-SMA di Sumatera Selatan dan ketika kuliah di ITB.
Ketika di ITB, ia aktif dalam kegiatan
kemahasiswaan, sebagai Waka Himpunan Mahasiswa Tehnik Perminyakan ITB dan
Senator Mahasiswa ITB. Selain itu, semasa kuliah, ia juga sempat menjadi
aktivis Masjid Salman Bandung.
Menurutnya, ada perbedaan yang mencolok
antara masa lalu, ketika ia sebagai aktivis, dengan zaman sekarang. Di masa
lalu menjadi aktivis itu, menjadi musuh pemerintah. Oleh sebab itu,
aktivis-aktivis yang lalu itu, untuk menjadi aktivis dia harus memiliki
keberanian, karena risikonya tinggi. Sehingga karena challengeyang demikian
besar ketika menjadi aktivis pada masa lalu itu, ia memetik hikmah yang sangat
indah dan itu membentuk kepribadiannya bahwa setiap orang tidak boleh takut
mengatakan sebuah kebenaran.
“Kalau dibandingkan dengan masa sekarang
ini, kita mau teriak apapun, kita mau jungkir balik, mau mengata-ngatain orang
tidak ada satupun yang mau menangkap. It’s a completely different challenge.
Challenge-nya sangat berbeda,” katanya.
Setamat dari ITB jurusan perminyakan,
sebenarnya ia ingin menjadi dosen, tapi tidak kesampaian. Mungkin karena ketika
mahasiswa, ia seorang aktivis dan suka memberontak terhadap pemerintah saat
itu.
Ketika itu, sebenarnya ia diterima bekerja
di beberapa tempat dengan gaji yang lebih besar. Tapi ia tolak. Ia lebih ingin
mandiri dengan membuat perusahaan yang bergerak di bidang perminyakan sesuai
pendidikannya.
Lalu ia bersama teman-temannya merintis usaha
itu sampai memiliki beberapa badan usaha yang berkerjasama dengan perusahaan
asing dan Petamina. Sejak tahun 1982 sampai 2000 ia menjabat Presiden Direktur
Arthindo. Sebelumnya, ia menjabat Wakil Manager teknis PT. Meta Epsi,
perusahaan pengeboran minyak. Tapi, begitu ia memutuskan bergabung dengan
partai politik, semua kegiatan usaha itu dihentikan, semua dijual. Ia masuk
Partai Amanat Nasional (PAN). Setelah masuk partai, benar-benar ia berhenti
total dari usaha, tidak lagi memiliki usaha dan tak mau berbisnis.
Ia benar-benar konsentrasi di satu bidang.
“Karena itu sifat saya. Kalau saya berusaha (bisnis), saya tidak mau bercampur
dengan kegiatan lain. Begitu juga ketika masuk partai politik, saya konsentrasi
dan juga tidak mau mencampur-baurkannya dengan usaha yang lain,” kata Ketua
Umum DPP PAN ini.
Politisi
Pluralis Relijius
Sebelum masuk PAN, ia tidak pernah
berpolitik praktis. Karena tidak ada kesempatan sesuai iklim politik pada zaman
orba. Padahal ketika mahasiswa, ia menyenangi bidang tersebut. Sehingga ketika
Amien Rais menggerakkan reformasi, ia pun sudah mulai ikut aktif. Saat itu, ia
menjadi ketua I Alumni ITB cabang Jakarta. Di situ ia sudah mulai aktif ikut
gerakan reformasi, sampai ketika PAN dideklerasikan 23 Agustus 1998, ia pun ikut
bergabung.
Di PAN, pada mulanya ia menjabat Ketua
Departemen Sumber Daya Alam dan Enerji. Kemudian, setelah kongres I, ia
terpilih menjadi Sekjen. Pada Pemilu 1999, ia pun terpilih menjadi anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
dari PAN, dari wilayah pemilihan Bandung. Di lembaga legislatif itu, ia
terpilih menjadi ketua Fraksi Reformasi DPR RI.
Ketika di Senayan itu, ia benar-benar
konsentrasi. Itu memang sudah sifatnya. Kiprahnya ketika permulaan masa reformasi
tergolong sangat luar biasa. Pada masa transisi dari pemerintahan Habibie ke
Gus Dur dan kemudian ke Megawati, ia sebagai ketua Fraksi Reformasi, mampu
menerjemahkan dan mengejawantahkan garis partainya yang didisain demikian apik
oleh Ketua Umumnya Amien Rais.
Sehingga Hatta bisa berperan banyak dalam
kancah perpolitikan nasional, sebagai support atas peran Amien Rais yang
berperan sangat besar sebagai‘king maker’ pentas politik nasional. Tak heran
bila pada saat itu, wartawan DPR/MPR memilih Hatta sebagai salah satu dari 10
tokoh DPR terbaik.
Pada Pemilu 1999, ia adalah ketua Pemilu
PAN. Ketika kongres PAN di Yogyakarta, ia sibuk menjadi ketua panitia
pelaksana. Pada waktu itu, di PAN ada dua kubu yang saling bertarikan. Ia
mengambil posisi berada di tengah saja. Ia termasuk orang yang menginginkan
keutuhan dan kekokohan partai PAN.
Pria relijius ini ingin PAN tetap berada di tengah, tidak
terseret ke kanan atau ke kiri sesuai dengan platformnya, partai plural, lintas
agama, dan lintas budaya. Maka, tak heran jika pada waktu itu, saat pemilihan
formatur, ia mendapat suara terbanyak. Formatur dalam kongres itu, memilih
Amien Rais tetap sebagai ketua umum dan ia menjadi Sekjen.
Dalam partai, ia juga melihat prinsip “The
right man on the right place” mutlak juga diperhatikan. Sehingga kadang-kadang
orang memandangnya seperti berseberangan dengan kelompok yang lain. Sementara,
ia sendiri menganggapnya biasa-biasa saja. Sebab ia bekerja sesuai dengan asas
partai yaitu sebagai partai plural yang berbasis utama Islam. Sebuah partai
yang dia yakini mampu mengakomodir dan menyuarakan aspirasi bangsa Indonesia
yang mayoritas muslim, namun plural, bhinneka tunggal ika, dari Sabang sampai
Merauke.
Piawai
Dalam Komunikasi Politik
Pada permulaan reformasi, sebagai masa
transisi, anggota-anggota dewan terpilih dengan sistem Pemilu yang baru. Mereka
lebih independen dan tidak dapat di-recall oleh partainya sendiri. Pada kondisi
itu, saat menjadi anggota DPR, ia merasa teruji untuk mengartikulasikan hak
individunya sebagai wakil rakyat tidak tergantung dengan fraksi dan partainya
semata.
Ia mampu menempatkan diri dan menjaga
keseimbangan, secara individu sebagai wakil konstituen sekaligus sebagai
anggota fraksi. Ia sangat memahami bahwa fraksi adalah perpanjangan tangan dari
partai politik, maka harus melakukan komunikasi yang intens untuk membawa suara
partainya. Akan tetapi, pada saat bersamaan, ia juga tidak kehilangan jati diri
sebagai seorang anggota dewan, yang harus bertanggungjawab secara individu
kepada konstituen yang memilihnya.
Di masa transisi itu, bahkan sampai saat
ini, ia sangat yakin, bahwa tidak mungkin sebuah partai dapat menyelesaikan
persoalan bangsa ini sendirian. Oleh karena itu semuanya harus diselesaikan
dengan loby dan musyawarah lintas fraksi. Sebagai anggota dewan dan Ketua
Fraksi Reformasi ketika itu, ia banyak berdiskusi dan menyerap prinsip dan
langkah politik Amien Rais selaku Ketua Umum PAN. Maka ia pun aktif menggalang
komunikasi politik lintas partai.
Namun semua yang terjadi dalam dunia
politik tidak pernah dilibatkan dalam kehidupan pribadi atau menjadi sebuah
sentimen pribadi. Ia pun bukan tipe politisi yang suka berteriak dengan
pendapat-pendapat yang kedengarannya menghentakkan, tapi tanpa solusi.
Baginya dalam berpolitik ada dua hal penting
yang perlu diperhatikan yakni (1) sikap konsisten yang disertai (2) tingkat
moralitas yang tinggi dan menjaga etika. Boleh berbeda pendapat tapi jangan
menghujat. Ia memang termasuk tipe orang yang tidak suka menghujat. Jika ada
perbedaan pendapat, ia dengan santun dan terbuka menyampaikan bahwa ia
mempunyai pendapat yang berbeda. Tapi jika pendapat orang lain memang lebih
benar, ia pun akan mengikuti pendapat itu. Sebaliknya, jika pendapatnya yang
benar, yang lain juga seharusnya mengakui. Tanpa perlu saling menghujat.
Jadi, menurutnya, persoalan politik dapat
diselesaikan dengan baik-baik tanpa harus menyakiti perasaan orang. Tetapi jika
dalam berpolitik sudah ada bibit-bibit suka dan tidak suka, maka persoalan
apapun tidak dapat diselesaikan. Ia berpandangan persoalan dapat diselesaikan
dengan nyaman, aman dan elegan, jika ada sikap saling menghargai.
Dukungan
Keluarga
Perjalanan karirnya pastilah juga
dipengaruhi oleh dukungan keluarga, terutama isteri dan anak-anaknya. Terutama
saat ia memilih menjadi politisi, dimana seorang pengusaha dan CEO meninggalkan
bisnis dan fokus sebagai politisi, sebuah keputusan yang tidak mudah bagi
seorang yang sudah mempunyai keluarga dengan kehidupan yang mapan.
Ketika itu, tahun 1999, anak-anaknya masih
kecil. Putra terbesarnya saat itu baru tamat SMP mau ke SMA. Ketika mengambil
keputusan itu, ia memang berdialog panjang dengan keluarga, dengan istri
terutama. Suatu hal yang tidak mudah baginya karena memilih memasuki dunia yang
lain sama sekali. Ia mengaku tidak gampang meyakinkan keluarganya. Ia
menegaskan, sekali ia berpolitik maka ia tidak akan menyentuh bisnis, harus
dilepaskan semua. Ia pun harus berpikir mempersiapkan dari hasil-hasil usahanya
itu buat keluarga dan buat berpolitik.
Suatu keputusan tentang kehidupan yang
betul-betul berbeda. Dari sebuah kehidupan yang rada teratur, saat magrib bisa
sembahyang bareng dengan anak-anaknya, menjadi sebuah kehidupan yang bisa
disebut tidak teratur sama sekali. “Mereka sempat shock. Kan waktunya sangat
pendek. Tahun 1998 PAN didirikan, tahun 1999 saya sudah menjadi anggota DPR,
tahun 1999 saya di Senayan dan nyaris tidak pulang-pulang. Saya tidur di hotel
dan jarang sekali ketemu dengan anak-anak, selama berapa bulan itu. Mereka
bertanya-tanya, ‘kenapa kehidupan ini menjadi begini’. Dia tidak pernah ketemu
bapaknya tapi lihat bapaknya di TV terus,” kenangnya.
Lalu ia pun menceritakan pelan-pelan kepada
anak-anaknya bahwa inilah kehidupan. Ia jelaskan bahwa “dimanapun kita berada,
papa sebagai pengusaha, papa sebagai pengajar, papa sekarang mau jadi politisi,
semua itu adalah bagian dari ibadah.” Keluarganya pun memahami dan menerima.
Sementara gaya hidup keluarganya tampak
biasa-biasa saja saat ia kemudian diangkat menjadi menteri. Istrinya tetap
nyetir sendiri, dan sangat marah kalau ke daerah harus dikawal, harus ada
ajudan.
“I never change my style of life. Saya
tidak suka, misalnya tiba-tiba menjadi harus sangat formal, never change
soal-soal seperti itu,” ujarnya. Anak-anaknya juga begitu, mereka biasa saja,
dan mereka protes serta tidak mau tinggal di rumah menteri, dan memilih tetap
tinggal di rumah pribadinya.
Jadi tidak ada sesuatu yang berubah. Hanya
kadang-kadang, seperti anaknya yang paling kecil bertanya: ‘Pak, orang bilang
pejabat negara itu sama dengan korupsi?’ Menjawab pertanyaan anak kecil yang
kritis ini, ia mengaku tidak gampang menjelaskan sampai si kecil memahaminya.
Keluarganya memang harus memahami tugas
panggilannya. Sebab bagi dia, hari Sabtu hari Minggu hari keluarga, tidak ada.
Baginya semua hari-hari keluarga, semua hari-hari kerja, semua hari ya hari.
Semua hari untuk bekerja, untuk beribadah. Sehingga frekuensi untuk ketemu
anak-anak jauh berkurang.
Namun, pada Sabtu-Minggu kalau berada di
Jakarta ia berupaya melepas kebebasan diri. Ia nyetir sendiri. Sabtu-Minggu
supir pulang. Tidak ada ajudan. Ia malah menjadi happy.
Internalisasi
Demokrasi
Menurutnya, di Indonesia banyak persoalan
besar yang sebenarnya sudah dapat diselesaikan tanpa mengakibatkan konflik.
Satu di antaranya proses demokratisasi yang luar biasa. Kebebasan berbicara,
berserikat dan mendirikan partai sudah terselesaikan. Sementara di banyak
negara lain persoalan ini belum selesai.
Namun, menurutnya, hal ini harus dibarengi
dengan pemahaman-pemahaman oleh partai politik dengan melakukan internalisasi
demokrasi melalui tiga hal. Yaitu, pertama, secepat mungkin menyu-sun sebuah
proses rekruitmen yang sehat. Karena jika partai politik tidak dapat melakukan
tugas ini dengan benar maka yang merasakan kerugian tersebut adalah bangsa ini.
Misalnya jika kita perhatikan wakil rakyat
yang ada di kota kabupaten dan daerah tingkat I, yang mulai dikritik oleh
masyarakat, ini adalah tanda bahwa partai politik belum dapat melaksanakan
rekruitmen yang sehat. Jadi hal ini harus cepat diselesaikan. Tidak ada pilihan
lain, karena partai politik adalah ujung tombak demokrasi, yang akan membangun
pemerintah-an dan suprastruktur di republik ini. Jika hal ini tidak
dilaksanakan, tujuan kita untuk mencapai demo-krasi modern yang menghasilkan
good government atau pemerintahan yang sehat akan terhambat.
Kedua adalah bagaimana di antara partai
politik menciptakan suasana berkompetisi yang tidak menimbulkan konflik, yang
tentu diatur melalui undang-undang dan peraturan partai politik.
Ketiga adalah bagaimana partai-partai
politik menyelesaikan persolan-persoalan mengenai transparansi keuangannya,
serta adanya peraturan yang mengatur bagaimana partai-partai politik dapat ikut
dalam Pemilu.
Ia sendiri adalah orang yang mendukung
dibentuknya aturan yang jelas agar setiap orang memiliki kebebasan yang
seluas-luasnya dalam membentuk partai politik tanpa dipersulit. Sebab hal itu
adalah hak dasar. Jika seseorang kehilangan haknya, ia juga kehilang-an
kemanusiaannya. Ia dikatakan manusia karena memiliki kebebasan. Jadi jika ia
kehilangan hak dalam berkumpul dan berserikat, hilang jugalah kemanusiannya.
Tapi harus ada aturan yang jelas. Aturan
itu harus disepakati bersama dan tidak dapat diubah-ubah. Sebab jika mudah
berubah, malah akan menjadi sangat rawan bagi terjadi-nya konflik. Sebagai
pembanding bisa lihat di luar negeri yang aturannya jelas. Sehingga partai politiknya
sehat, dan berpengaruh pada keadaan bangsa tersebut.
Ia sangat sedih jika banyak tokoh-tokoh
non-partai, yang sebenarnya dapat menjadi tokoh partai, berada di luar partai
lalu hanya dapat mengkritisi dan menutup diri. Sehingga seakan-akan hanya dirinya
saja yang dapat mewakili rakyat. Padahal semua tahu, partai politik adalah
ujung tombak demokrasi. Jadi membangun demokrasi harus dengan cara memperkuat
partai politik dengan dukungan ke arah yang lebih baik. Atau mendirikan partai
politik. Walaupun di sisi lain kita juga harus mempuyai masyarakat sipil yang
kuat untuk mengarahkan gerak partai politik.
Korupsi
dan Kemiskinan
Pengagum Bung Karno dan Amien Rais ini
melihat ada tiga masalah yang dihadapi bangsa ini dalam beberapa tahun
terakhir, yakni kemiskinan, terancamnya kerukunan dan ganasnya korupsi.
(Ia memajang foto Bung Karno bersalaman
dengan Kanselir Jerman Conrad Adenaeur (1953). Ketika itulah orang-orang
Indonesia dikirim ke Jerman yang kemudian menjadi scientist-scientist kita di
sini. Jadi, ia bangga dengan shakehand-nya Bung Karno dengan Kanselir Jerman
ini. Conrad Adenaeur adalah bapak pembangunan ekonomi yang membangun kembali
Jerman, paska perang dunia kedua.)
Tiga persoalan besar yang menjadi
perhatiannya itu: Pertama, mening-katnya secara tajam kemiskinan di Indonesia
dari 22,5 juta atau sekitar 11,3% dari seluruh penduduk Indonesia pada tahun
1996 membengkak jadi 49,5 juta orang atau sekitar 24,2% dari jumlah penduduk
pada tahun 1998. Kemiskinan ini, sebagai akibat kemiskinan struktural maupun
kemiskinan karena gelombang resesi.
Standar untuk menentukan garis kemiskinan
pada 1996 adalah pendapatan per kapita sebesar Rp 38.246 per bulan untuk
perkotaan dan Rp 27.413 untuk pedesaan.
Lalu, tahun 1999 jumlah penduduk miskin itu
sedikit berkurang menjadi 48,4 juta orang. Standar yang digunakan secara
nominal, yaitu Rp 92.409 untuk perkotaan dan Rp 74.272 untuk pedesaan. Lalu
tahun 2002 berkurang lagi menjadi sekitar 37,5 juta orang. UU Program
Pembangunan Nasional (Propenas), mengama-natkan jumlah penduduk di bawah garis
kemiskinan pada 2004 tidak boleh lebih dari 30 juta orang atau sekitar 14% dari
jumlah penduduk.
Namun, pemerintah memperkirakan penurunan
rasio angka kemiskinan yang ditargetkan dalam Propenas itu tidak akan tercapai.
Maksimal upaya yang bisa dilakukan pemerintah adalah menekan rasio angka
kemiskinan tersebut antara 16 sampai 17 persen.
Kemiskinan ini telah mengakibatkan
ketidakberdayaan masyarakat di berbagai bidang kehidupan, terutama bidang
kesehatan. Nutrisinya sangat rendah, tentu akan menghasilkan generasi lemah.
Berakibat kepada sumber daya manusia yang tidak tangguh pada generasi berikutnya.
Ini sungguh memprihatinkan. Maka, ia sangat serius tentang hal ini.
Kedua, menurunnya semangat toleransi dan
terlalu mengedepan-kan sikap-sikap keakuan. Apakah itu keakuan dalam konteks
hukum, konteks agama, atau dalam konteks kelompok. Semangat kebersamaan jauh
menurun, yang berakibat terdesaknya kelompok masyarakat miskin yang tidak
berdaya.
Ketiga, hal yang paling klasik, yakni masih
ganasnya korupsi, kolusi dan nepotisme. Sehingga, kita membutuhkan sebuah
resep. Resep yang mampu membangkitkan kembali (revitalisasi) semangat
kebersamaan dan nasionalime bangsa ini.
Ia sendiri tidak tahu bagaimana caranya.
“Tetapi jika Tuhan memberikan kesempatan untuk meminta apa saja dan pasti
dikabulkan-Nya, saya pasti tidak akan meminta supaya saya berkuasa, tetapi saya
akan meminta agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar, terbebas dari
kemiskinan dan kebodohan. Itu yang pasti saya minta. Hanya satu itu saja,” kata
Menristek ini dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia, di ruang
kerjanya.
Profil
Lengkap
Nama
Lengkap : Ir. M. Hatta Rajasa
Lahir:
Palembang,18 Desember 1953
Agama:
Islam
Isteri:
Drg.Oktiniwati Ulfa Dariah Rajasa,
Anak:
Reza, Aliya, Azimah dan Rasyid
Pendidikan:
Insinyur Perminyakan Institut Tehknologi Bandung (ITB)
Pengalaman
Pekerjaan:
2009-2014
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu II
2007-2009
Menteri Sekretariat Negara Kabinet Indonesia Bersatu I
2004-2007
Menteri Perhubungan Kabinet Indonesia Bersatu
2001-2004
Menteri Riset dan Teknologi Kabinet Gotong Royong
2000-2005
Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (DPP-PAN)
1999-
2000 Ketua Fraksi Reformasi DPR.
1982-
2000 Presiden Direktur Arthindo
1980
-1983 Wakil Manager teknis PT. Meta Epsi Perusahaan pengeboran minyak
1977
-1978 Teknisi Lapangan PT. Bina Patra Jaya
Penghargaan
:
“Bintang
Mahaputera Adipradana” – Pemerintah Republik Indonesia (2013)
“Narasumber/Pejabat
Yang Paling Mudah Dihubungi Wartawan” – Persatuan Wartawan Indonesia Jaya
(2013)
“Economic
Booster of The Year” – Indonesia Property&Bank (2013)
“Reformasi
Award” – Pro Democracy (2013)
“Pemimpin
Pembangunan Ekonomi Nasional” – Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Jawa Timur
(2013)
“The
Rising Stars’s Men Obsession’s 9 Young Leaders 2013-2014″ – Men Obsession’s
(2013)
“Gwanghwa
Medal” – The first rank of the Order Of Diplomatic Service Merit, Republic of
Korea Jakarta (2012)
“Pemimpin
Perubahan 2011″ – Republika (2011)
“Public
Policy Award” – Asia Society (2011)
“Ganesha
Prajamanggala Bakti Kencana” – Institut Teknologi Bandung (2011)
“Charta
Politica Award” – (2010)
“Ganesha
Prajamanggala Bakti Adiutama” – Institut Teknologi Bandung (2009)
Sumber:selamatkanindonesia.com