Sariaklaweh.blogspot.com:--“Akhi, Dhuha yuk…!! Spontan saja suara
Hasan mengakhiri lamunan Gani. “Emang dah jam berapa sih?” Tanya Gani. “Dah jam
Sembilan lebih tujuh menit tau…” terang Hasan. “Antum duluan aja deh, ntar ane
nyusul” timpal Gani. Seketika Hasan berlalu. Gani meraih cangkir putih yang tidak
jauh dari meja kerjanya. “Bismillahirrahmanirrahim” terdengar kalimah
basmalah itu meluncur begitu saja dari mulutnya, dan langsung saja ia menyeruput
kopi tubruk yang sudah mulai dingin tersebut. Entah haus, atau memang kopinya
yang nikmat seketika cangkir yang tadinya berisi penuh hanya tinggal ampasnya.
Sambil melafadzkan hamdalah, ia menaruh kembali cangkir ke meja kerjanya. Tak
ingin kesempatan Dhuhanya keburu habis Gani segera menyusul Hasan ke Mesjid
yang berjarak hanya dua ratusan meter dari kantornya.
Seketika ia tertegun melihat seisi
mesjid, “Subhanallah” gumamnya, ternyata rekan yang lain juga sudah pada
berDhuha, padahal tadinya ia beranggapan “palingan yang dhuha cuma dua atau
tiga orang” ternyata ia salah, delapan puluh persen karyawan tempat dia
bekerja ternyata sudah mengambil
kesempatan lebih dulu darinya.
Tampa menunggu lama Gani segera mengambil
wudhu dan Tahyatul Mesjid 2 rakaat baru diiringi Dhuha empat rakaat seperti
biasa. Selesai salam tak lupa dia menengadahkan tangan dan bermunajah pada Sang
Pencipta, Gani hanyut dalam untaian doa yang ia lantunkan, seketika tampa ia
sadari mutiara bening telah asyik bergelantungan di jenggot tipisnya, seolah
tak dihiraukan Gani semakin larut dalam kekhusyukannya. 15 menit berlalu iapun
bangkit dari duduknya, menoleh ke arah kiri dan kanan seolah ada sesuatu yang
ia cari, benar saja ternyata Gani hendak menemukan posisi Hasan, yang biasanya
duduk bersandar di tonggak nomor dua pojok paling kanan. Tapi kali ini ia tidak
menemukan Hasan, begitupun rekan-rekannya
yang lain.
Tatapan Gani terhenti pada dua insan yang
berada di beranda mesjid, yang memang agak mengganggu pemandangannya. Betapa
tidak, ikhwan dan akhwat kira-kira 2-3 tahun di bawah usianya tengah asyik,
seolah bercengkerama tampa ia ketahui apa yang tengah mereka ucapkan, sesekali
sang ikhwan itu membalas ucapan akhwat sembari melemparkan senyum manja. Sontak,
dengan langkah buru-buru Gani menghampiri mereka, namun ada yang aneh dengan
Gani, semakin lama langkahnya semakin pelan dan raut wajahnya pun tidak lagi
memerah bahkan senyumpun keluar dari wajahnya. Ternyata mereka sedang memuraja’ah
hapalan surah Ar-Rahman. Tapi tetap saja mengganjal di hatinya, “walau
berdalih apapun tidak ada alasan untuk berkhalwat walaupun dengan dalih
agama di kompleks mesjid lagi”, gumamnya dalam hati.
“Assalamu’alaikum” sapa Gani. Seketika
sepasang pemuda tersebut diam dan menoleh ke arah Gani. “Wa’alaikumsalam” sahut
mereka berbarengan. Dengan senyuman yang lembut mereka menjawab salam Gani.
Gani-pun mengulurkan tangannya bermaksud hendak menyalami sang ikhwan, bak
gayung bersambut, ikhwan itupun menjabat tangannya. “Wah asyik betul
kelihatannya”, tampak Gani memulai pembicaraan. “iya nih kang” jawab ikhwan tersebut. “Lagi
ngisi waktu luang” timpalnya lagi. “Maksudnya?” Tanya Gani Kebingungan. “Begini
Uda, kita kuliahnya kan jam setengah sebelas, tapi karena takut telat kita
berangkat lebih awal, dan mumpung waktu dhuhanya masih ada kita dhuha gitu deh”
ucap ikhwan. “Tapi….” Kalimat Gani langsung dipotong oleh ikhwan tersebut
seolah ia paham apa yang hendak Gani sampaikan. “ tadi, istri ana memuraja’ah
hapalan juz 27 kang, takut hilang hapalan, katanya“ seru ikhwan sambil tersenyum.
“istri…..???” bisik Gani dalam hatinya. “Astaghfirullaha’azhim” ternyata saya telah
berprasangka buruk tambahnya lagi.
Wajah Gani tampak memerah karena malu,
meski bisa ia tutupi, tapi tetap saja ia keliatan kikuk, apalagi ikhwan itu
bertanya “Kenapa kang?”. Tampa segan Gani menerangkan maksudnya yang terlebih
dahulu ia memohon maaf terhadap terhadap kekhilafannya kepada mereka berdua.
“sebenarnya tadi saya telah bersu’udzon kepada antum berdua, saya kira antum
berpacaran di sini dan saya hendak mengusir sekaligus menasehati. Tetapi karena
sudah halal lanjutin deh ”, kata Gani sambil cengengesan. Ikhwan tersebutpun
menjawab dengan senyum serta menerima permohonan maaf Gani. “ah… gak apa-apa kang,
sudah biasa kok, kamipun memaklumi hal tersebut, menikah muda memang tradisi
yang masih baru di kalangan masyarakat kita. Para orang tua lebih memilih
anaknya berpacaran ketimbang menikahkan mereka yang masih menyandang status
mahasiswa kendatipun mereka sudah cukup usia. Bahkan ada yang memandangnya sebagai
aib. Alasan mereka beragam. Mulai dari malu memiliki mantu yang belum memiliki
pekerjaan tetaplah, takut dibilang tidak mampu membiayai kuliah anaklah dan
sebagainya.” Gani mengangguk tanda setuju. Iapun mohon diri karena hendak masuk
kantor. Sebelum berpisah mereka ingat bahwa mereka belum berkenalan. Ikhwan
tersebutpun memperkenalkan diri dan istrinya. Ternyata namanya adalah Zahid dan
istrinya Husna. Setelah menyebutkan nama bahkan sempat bertukaran pin BBM,
Ganipun meninggalkan pasangan muda tersebut dengan senyum bercampur malu.
Sambil berlalu, dalam hatinya ia berbisik “ jujur, aku cemburu pada kalian”.
novel ini juga sudah dimuat di dakwatuna.com link=>http://www.dakwatuna.com/2015/02/05/63583/jujur-aku-cemburu-2/#axzz3R32Hho3B